BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Sastra adalah suatu kegiatan
kreatif, sebuah karya seni. Sastra juga cabang ilmu pengetahuan. Studi sastra
memiliki metode-metode yang absah dan ilmiah, walau tidak selalu sama dengan
metode ilmu-ilmu alam. Bedanya hanya saja ilmu-ilmu alam berbeda dengan tujuan
ilmu-ilmu budaya. Ilmu-ilmu alam mempelajari fakta-fakta yang berulang,
sedangkan sejarah mengkaji fakta-fakta yang silih berganti. Karya sastra pada
dasarnya bersifat umum dan sekaligus bersifat khusus, atau lebih tepat lagi :
individual dan umum sekaligus. Studi sastra adalah sebuah cabang ilmu
pengetahuan yang berkembang terus-menerus.
Dengan berkembangannya ilmu
tentang sastra maka bukan hanya unsur-unsur yang terdapat didalam sebuah karya
sastra saja yang dapat dikaji atau analisis tetapi pada saat ini sastra juga
dapat dikaji berdasarkan faktor-faktor yang berasal dari luar sastra itu.
Faktor-faktor dari luar karya sastra yaitu sosiologi sastra, psikologi sastra
serta antropologi sastra. Sosiologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan
masyarakat yang menghasilkannya sebagai latar belakang sosialnya. Antropologi
sastra, dibangun atas dasar asumsi-asumsi genesis, dalam kaitannya dengan asal
usul sastra.
Psikologi Sastra adalah analisis
teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis. Artinya,
psikologi turut berperan penting dalam penganalisisan sebuah karya sastra
dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur
pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada
tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung dalam
karya sastra. Jadi, Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sastra
dan psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut
dengan “Psikologi Sastra”.
Analisis Teori Psikologi Sastra
yang dilanjutkan dengan Teori Psikoanalisis dan diaplikasikan dengan meminjam
teori kepribadian ahli psikologi terkenal Sigmund Freud. Dengan meletakkan
teori Freud sebagai dasar penganalisisan, maka pemecahan masalah akan gangguan
kejiwaan tokoh utama akan dapat dijembatani secara bertahap. Didalam makalah
ini akan dikaji secara terperinci tentang psikologi sastra dan
pengaplikasiannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Psikologi Sastra
Psikologi secara sempit dapat
diartikan sebagai ilmu tentang jiwa. Sedangkan sastra adalah ilmu tentang karya
seni dengan tulis-menulis. Maka jika diartikan secara keseluruhan, psikologi
sastra merupakan ilmu yang mengkaji karya sastra dari sudut kejiwaannya.
Menurut Wellek dan Austin (1989:90), Istilah psikologi sastra mempunyai empat
kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai
tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga
studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan
yang keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).
Pendapat Wellek dan Austin tersebut memberikan pemahaman akan begitu luasnya
cakupan ilmu psikologi sastra. Psikologi sastra tidak hanya berperan dalam satu
unsur saja yang membangun sebuah karya sastra. Mereka juga menyebutkan, “Dalam
sebuah karya sastra yang berhasil, psikologi sudah menyatu menjadi karya seni,
oleh karena itu, tugas peneliti adalah menguraikannya kembali sehingga menjadi
jelas dan nyata apa yang dilakukan oleh karya tersebut”
Menurut Ratna (2004:350),
“Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan
peranan studi psikologis”. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam
penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya
sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan
dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik
batin yang terkandung dalam karya sastra.. Secara umum dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan
ilmu baru yang disebut dengan “Psikologi Sastra”. Artinya, dengan meneliti
sebuah karya sastra melalui pendekatan Psikologi Sastra, secara tidak langsung
kita telah membicarakan psikologi karena dunia sastra tidak dapat dipisahkan
dengan nilai kejiwaan yang mungkin tersirat dalam karya sastra tersebut.
B.
Penelitian Psikologi Sastra
Harus kita akui, bahwa di
indonesia analisis tentang psikologi sastra sangat lambat perkembangannya hal
ini disebabkan karena : a). Psikologi satra seolah-olah hanya berkaitan dengan
manusia sebagai individu, kurang memberikan peranan terhadap subjek
transindividual, sehingga analisis dianggap sempit, b). Dikaitkan dengan
tradisi intelektual, teori-teori psikologis sangat terbatas, sehingga para
sarjana sastra kurang kurang memiliki pemahaman terhadap bidang psikologin
sastra, c). Berkaitan dengan masalah yang pertama dan kedua , relevansi
analisis psikologi pada gilirannya kurang menarik minat, khususnya dikalangan
mahasiswa, yang dapat dibuktikan dengan sedikitnya skripsi dan karya tulis yang
lain yang memanfaatkan pendekatan psikologi sastra.
Sebenarnya didalam karya sastra
memiliki aspek-aspek kejiwaan yang sangat kaya, maka analisis psikologi harus
dimotifasi dan dikembangkan secara lebih serius lagi. Tujuan psikologi sastra
adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra.
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa analisis psikologi sastra sama sekali
terlepas denga kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra
memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung. Misalnya melalu
pemahaman terhadap tokoh-tokohnya , misalnya, masyarakat dapat memahami
perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-pemyimpangan lain yang terjadi didalam
masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psike.
Menurut Wellek dan Warren ( 1962:
81 ) membedakan analisis psikologis menjadi dua macam yaitu studi psikologi
yang semata-mata berkaitan dengan pengarang. Sedangkan studi yang kedua
berhubungan dengan inspirasi, ilham, dan kekuatan-kekuatan supranatural
lainnya. Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang
kedua, yaitu pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur kejiwaan tokoh-tokoh
fiksional yang terkandung didalam karya sastra. Pada umumnya aspek-aspek
kemanusiaan yang merupakan objek utama didalam psikologi sastra, sebab
semata-mata dalam diri manusia itulah, sebagai tokoh-tokoh , aspek kejiwaan
dicangkokkan dan diinvestasikan.
Dengan penjelasan diatas maka
penelitian psikologi sastra dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama,
melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap
suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya
sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang
dianggap relevan untuk melakukan analisis. Pada umumnya metodologi penelitian
yang pertama memiliki kecenderungan untuk menempatkan karya satra sebagai
gejala sekunder sebab cara-cara penelitian yang dimaksudkan menganggap karya
sastra sebagai gejala yang pasif, atau semata-mata sebgai objek untuk
mengaplikasikan teori.
Psikologi sastra sebagaimana
dimaksudkan dalam pembicaraan ini adalah cara-cara penelitian yang dilakukan
dengan menempatkan karya sastra sebagai gejala yang dinamis. Karya sastralah
yang menentukan teori, bukan sebaliknya. Dengan mengambil analogi hubungan
antara psikolog dengan pasien diatas pada dasarnya sudah menjadi keseimbangan
antara karya sastra dengan teori.
C. Konsep umum Psikoanalisis Dalam Sastra.
Psikoanalisis pertama kali
dimunculkan oleh “Bapak Psikoanalisis” terkenal Sigmund Freud yang berasal dari
Austria. “Psikoanalisis adalah istilah khusus dalam penelitian psikologi
sastra” (Endraswara, 2008:196). Artinya, psikoanalisis ini banyak diterapkan
dalam setiap penelitian sastra yang mempergunakan pendekatan psikologis.
Umumnya, dalam setiap pelaksanaan pendekatan psikologis terhadap penelitian
sastra, yang diambil dari teori psikoanalisis ini hanyalah bagian-bagian yang
berguna dan sesuai saja, terutama yang berkaitan dengan pembahasan sifat dan
perwatakan manusia. Pembahasan sifat dan perwatakan manusia tersebut meliputi
cakupan yang relatif luas karena manusia senantiasa menunjukkan keadaan jiwa
yang berbeda-beda.
Psikoanalisis juga menguraikan
kelainan atau gangguan jiwa, “Namun dapat dipastikan bahwa Psikoanalisis
bukanlah merupakan keseluruhan dari ilmu jiwa, tetapi merupakan suatu cabang
dan mungkin malahan dasar dari keseluruhan ilmu jiwa” (Calvin, 1995:24).
Berdasarkan pernyataan tersebut secara umum dapat disimpulkan bahwa
psikoanalisis merupakan tombak dasar penelitian kejiwaan dalam mencapai tahap
penelitian yang lebih serius, khususnya karya sastra dalam hal ini.
Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk menganalisis tokoh-tokoh dalam
drama atau novel secara psikologis. Tokoh-tokoh tersebut umumnya merupakan
imajinasi atau khayalan pengarang yang berada dalam kondisi jiwa yang sehat
maupun terganggu, lalu dituangkan menjadi sebuah karya yang indah. Keadaan jiwa
yang sehat dan terganggu inilah yang menjadi cermin lahirnya karya dengan tokoh
berjiwa sehat maupun terganggu.
Konsep Freud yang paling mendasar
adalah teorinya tentang ketidaksadaran. Pada awalnya, Freud membagi taraf
kesadaran manusia menjadi tiga lapis, yakni lapisan unconscious (taksadar),
lapisan preconscious (prasadar), dan lapisan conscious (sadar). Di antara tiga
lapisan itu, taksadar adalah bagian terbesar yang memengaruhi perilaku manusia.
Freud menganalogikannya dengan fenomena gunung es di lautan, di mana bagian
paling atas yang tampak di permukaan laut mewakili lapisan sadar. Prasadar
adalah bagian yang turun-naik di bawah dan di atas permukaan. Sedangkan bagian
terbesar justru yang berada di bawah laut, mewakili taksadar.
Dalam buku-bukunya yang lebih
mutakhir, Freud meninggalkan pembagian lapisan kesadaran di atas, dan
menggantinya dengan konsep yang lebih teknis. Tetapi basis konsepnya tetap
mengenai ketidaksadaran, yaitu bahwa tingkah laku manusia lebih banyak
digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar dalam dirinya. Pembagian itu dikenal
dengan sebutan struktur kepribadian manusia, dan tetap terdiri atas tiga unsur,
yaitu
1. Id
Id adalah satu-satunya komponen
kepribadian yang hadir sejak lahir. Aspek kepribadian sepenuhnya sadar dan
termasuk dari perilaku naluriah dan primitif. Menurut Freud, id adalah sumber
segala energi psikis, sehingga komponen utama kepribadian. Id didorong oleh
prinsip kesenangan, yang berusaha untuk kepuasan segera dari semua keinginan,
keinginan, dan kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak puas langsung, hasilnya
adalah kecemasan negara atau ketegangan. Sebagai contoh, peningkatan rasa lapar
atau haus harus menghasilkan upaya segera untuk makan atau minum. id ini sangat
penting awal dalam hidup, karena itu memastikan bahwa kebutuhan bayi terpenuhi.
Jika bayi lapar atau tidak nyaman, ia akan menangis sampai tuntutan id
terpenuhi.
Namun, segera memuaskan kebutuhan
ini tidak selalu realistis atau bahkan mungkin. Jika kita diperintah seluruhnya
oleh prinsip kesenangan, kita mungkin menemukan diri kita meraih hal-hal yang
kita inginkan dari tangan orang lain untuk memuaskan keinginan kita sendiri.
Perilaku semacam ini akan baik mengganggu dan sosial tidak dapat diterima.
Menurut Freud, id mencoba untuk menyelesaikan ketegangan yang diciptakan oleh
prinsip kesenangan melalui proses utama, yang melibatkan pembentukan citra
mental dari objek yang diinginkan sebagai cara untuk memuaskan kebutuhan.
2. Ego
Ego adalah komponen kepribadian
yang bertanggung jawab untuk menangani dengan realitas. Menurut Freud, ego
berkembang dari id dan memastikan bahwa dorongan dari id dapat dinyatakan dalam
cara yang dapat diterima di dunia nyata. Fungsi ego baik di pikiran sadar,
prasadar, dan tidak sadar.
Ego bekerja berdasarkan prinsip
realitas, yang berusaha untuk memuaskan keinginan id dengan cara-cara yang
realistis dan sosial yang sesuai. Prinsip realitas beratnya biaya dan manfaat
dari suatu tindakan sebelum memutuskan untuk bertindak atas atau meninggalkan
impuls. Dalam banyak kasus, impuls id itu dapat dipenuhi melalui proses menunda
kepuasan – ego pada akhirnya akan memungkinkan perilaku, tetapi hanya dalam
waktu yang tepat dan tempat.
Ego juga pelepasan ketegangan
yang diciptakan oleh impuls yang tidak terpenuhi melalui proses sekunder, di
mana ego mencoba untuk menemukan objek di dunia nyata yang cocok dengan
gambaran mental yang diciptakan oleh proses primer id’s.
3. Superego
Komponen terakhir untuk
mengembangkan kepribadian adalah superego. superego adalah aspek kepribadian
yang menampung semua standar internalisasi moral dan cita-cita yang kita
peroleh dari kedua orang tua dan masyarakat – kami rasa benar dan salah.
Superego memberikan pedoman untuk membuat penilaian. Yang ideal ego mencakup
aturan dan standar untuk perilaku yang baik. Perilaku ini termasuk orang yang
disetujui oleh figur otoritas orang tua dan lainnya. Mematuhi aturan-aturan ini
menyebabkan perasaan kebanggaan, nilai dan prestasi.
Hati nurani mencakup informasi
tentang hal-hal yang dianggap buruk oleh orang tua dan masyarakat. Perilaku ini
sering dilarang dan menyebabkan buruk, konsekuensi atau hukuman perasaan
bersalah dan penyesalan. Superego bertindak untuk menyempurnakan dan
membudayakan perilaku kita. Ia bekerja untuk menekan semua yang tidak dapat
diterima mendesak dari id dan perjuangan untuk membuat tindakan ego atas
standar idealis lebih karena pada prinsip-prinsip realistis. Superego hadir
dalam sadar, prasadar dan tidak sadar.Maka dari itu timbullah interaksi dari
ketiga unsur unsur diatas yaitu dengan kekuatan bersaing begitu banyak, mudah
untuk melihat bagaimana konflik mungkin timbul antara ego, id dan superego.
Freud menggunakan kekuatan ego istilah untuk merujuk kepada kemampuan ego
berfungsi meskipun kekuatan-kekuatan duel. Seseorang dengan kekuatan ego yang
baik dapat secara efektif mengelola tekanan ini, sedangkan mereka dengan
kekuatan ego terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat menjadi terlalu keras
hati atau terlalu mengganggu.
Banyak pendapat mengatakan bahwa
teori Freud hanya berhasil untuk mengungkapkan genesis karya sastra , jadi,
sangat dekat dengan penelitian proses kreatif. Relevansi teori Freud dianggap
sangat terbatas dalam rangka memahami sebuah karya sastra. Meskipun demikian,
menurut Milner ( 1992:xiii ) , peran teori freud tidak terbatas sebagaimana
dinyatakan sebelumnya. Menurutnya, teori Freud memiliki inplikasi yang sangat
luas tergantung bagaimana cara pengoprasiaannya. Disatu pihak , hubungan
psikologi dengan sastra didasarkan atas pemahaman, bahwa sebagaimana bahasa
pasien, sastra secara langsung menampilkan ketaksadaran bahasa. Dipihak lain
menyatakan bahwa psikologi Freud memanfaatkan mimpi, fantasi, dan mite,
sedangkan ketiga hal tersebut merupakan masalah pokok didalam sastra.
Hubungan yang erat antara
psikoanalisis khususnya teori-teori Freud dengan sastra juga ditunjukkan
melalui penelitiannya yang bertumpu pada karya sastra. Teori Freud dimanfaatkan
untuk mengungkapkan berbagai gejala psikologis dibalik gejala bahasa. Oleh
karena itu, keberhasilan penelitian tergantung dari kemampuan dalam
mengungkapkan kekhasan bahasa yang digunakan oelh pengarang. Bagi Freud, asas
psikologi adalah alam bawah sadar, yang didasari secara samar-samar oelh
individu yang bersangkutan. Menurutnya, ketaksadaran justru merupakan bagian
yang paling besar dan paling aktif dalam diri setiap orang.
a. Kegunaan psikoanalisis sastra
Psikologi atau psikoanalisis
dapat mengklasifikasikan pengarang berdasar tipe psikologi dan tipe
fisiologisnya. Psikoanalasisis dapat pula menguraikan kelainan jiwa bahkan alam
bawah sadarnya. Bukti-bukti itu diambil dari dokumen di luar karya sastra atau
dari karya sastra itu sendiri. Untuk menginteprestasikan karya sastra sebagai
bukti psikologis, psikolog perlu mencocokannya dengan dokumen-dokumen diluar
karya sastra.
Psikoanalisis dapat digunakan
untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat menjelaskan proses kreatif.
Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan menulis kembali karyanya. Yang lebih
bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan naskah, koreksi,
dan seterusnya. Hal itu, berguna karena jika dipakai dengan tepat dapat
membantu kita melihat keretakan ( fissure ), ketidakteraturan, perubahan, dan
distorsi yang sangat penting dalam suatu karya sastra.Psikoanalisis dalam karya
sastra berguna untuk menganalisis secara psikologis tokoh-tokoh dalam drama dan
novel. Terkadang pengarang secara tidak sadar maupun secara sadar dapat
memasukan teori psikologi yang dianutnya. Psikoanalisis juga dapat menganalisis
jiwa pengarang lewat karya sastranya.
b. Penerapan Psikoanalisis dalam Sastra
Penerapan psikoanalisis dalam
bidang seni, juga sastra, sudah dimulai oleh Freud sendiri. Karya-karya Sigmund
Freud yang menyinggung bidang seni antara lain:
1. L’interpretation des Reves
(Interpretasi Mimpi), terbit pertama kali tahun 1899. Ini adalah sebuah buku
klasik yang menguraikan tafsir mimpi. Buku ini merupakan landasan teoretis
paling mendasar mengenai hubungan antara psikoanalisis dan sastra. Tulisan
Freud yang sering dipakai sebagai landasan teoretis adalah Trois Essais sur la
Theorie de la Sexualite (Tiga Esai tentang Teori Seksualitas), terbit tahun
1962.
2. Delire et Reves dana la
“Gradiva” de Jensen (Delir dan Mimpi dalam “La Gradiva” Karya Jensen. Terbit
tahun 1906. Ini adalah karya paling jelas mengenai penerapan teori-teori
psikoanalisis dalam karya sastra. Di sini Freud melakukan penelitian pada
sebuah cerpen berjudul La Gradiva karya Jensen dan menemukan bahwa kepribadian
tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian dalam cerpen itu sangat sesuai dengan
teori-teorinya sendiri mengenai kepribadian manusia.
3. La Creation Litteraire et le
reve Eveille (Penciptaan Sastra dan Mimpi dengan Mata Terbuka), sebuah esai
yang terbit pada tahun 1908. Di sini Freud menemukan kemiripan antara proses
penciptaan karya sastra pada sastrawan dengan kesenangan yang diperoleh
anak-anak dalam permainan. Menurut Freud, “Penyair bertindak seperti anak-anak
yang bermain, dan menciptakan dunia imajiner yang diperlakukannya dengan sangat
serius, dalam arti bahwa penyair melengkapinya dengan sejumlah besar pengaruh,
seraya tetap membedakannya dengan tegas dari realitas.” (footnote)
4. Un Souvenir d’enfance de
Leonardo de Vinci (Kenangan Masa Kanak-kanak Leonardo da Vinci), terbit pada
1910. Di sini Freud menganalisis kepribadian Leonardo da Vinci dari biografi
dan karya-karya seninya, termasuk menguraikan rahasia senyuman Monna Lisa.
Dalam buku ini pula Freud memerkenalkan sebuah konsep penting yang berpengaruh
dalam teori kebudayaan, yaitu konsep sublimasi.
5. Das Unheimliche (Keanehan yang
Mencemaskan), terbit tahun 1919. Di sini Freud mengangkat sebuah efek atau
kesan yang kerap dirasakan pembaca ketika menikmati karya sastra tertentu yang
bersifat tragik atau horor, yaitu perasaan cemas, takut, atau ngeri. Meskipun
perasaan yang mencemaskan itu muncul, anehnya pembaca tetap menyenangi dan
menikmati karya sastra demikian.
Namun penerapan dan perkembangan
teori psikoanalisis dalam bidang sastra secara lebih mendalam dilakukan oleh
para ahli sastra, misalnya Charles Mauron dan Max Milner. Charles Mauron,
kritikus sastra asal Prancis, mengembangkan suatu metode kritik sastra yang
disebutnya psikokritik. Max Milner, seorang sarjana Jerman, telah menyusun buku
yang mengelaborasi teori-teori Freud yang berkaitan dengan sastra, berjudul
Freud et L’interpretation de la litterature (Freud dan Interpretasi Sastra).
c.
Kesejajaran Pola dalam Mimpi dan Karya Sastra
Mengapa psikoanalisis bisa
digunakan untuk menganalisis karya seni, khususnya sastra? Psikonalisis lahir
dari penelitian tentang mimpi. Ketika menganalisis mimpi-mimpi pasiennya, Freud
menemukan bahwa mimpi bekerja melalui mekanisme atau cara kerja tertentu, dan
ternyata mekanisme mimpi itu mirip dengan pola yang terdapat dalam karya
sastra.
Mekanisme-mekanisme mimpi berikut
analoginya dengan seni adalah:
1. Kondensasi
Kondensasi adalah penggabungan
atau penumpukan beberapa pikiran tersembunyi ke dalam satu imaji tunggal, atau
peleburan beberapa tokoh atau hal-hal yang bersifat umum ke dalam satu gambar
atau kata.
Analoginya dengan sastra,
misalnya dalam penciptaan tokoh dalam novel. Ketika seorang pengarang
menciptakan tokoh, ia mengkondensasi (menggabungkan) raut muka dan sosok dari
beberapa orang yang dikenalnya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi
seorang tokoh yang khayali atau fiksi. Begitu juga ketika pengarang itu
menciptakan latar tempat, ia menggabungkan beberapa tempat yang ditemuinya
dalam realitas ke dalam novel, sehingga menjadi suatu tempat tersendiri yang
bersifat fiktif, dan akan sia-sia jika kita mencarinya dalam kenyataan.
2. Pemindahan (displacement)
Pemindahan adalah mimpi yang
menonjolkan sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan dengan isi mimpi yang
harus diwujudkan. Mimpi tersebut merupakan rincian yang tidak berarti dan kadang-kadang
bahkan merupakan kebalikan pikiran yang tersembunyi, seakan-akan ingin
menghindari mimpi itu bisa ditafsirkan. Pemindahan juga berarti menampilkan
gambaran mimpi yang kurang berarti dan menyimpang dari isi mimpi yang pokok.
Freud mencontohkan: ia bermimpi tentang seorang wanita yang berusaha
mendekatinya, dan wanita itu berseru betapa indah kedua matanya. Konon, wanita
itu adalah putri seseorang yang memberi utang pada Freud. Setelah menganalisis
mimpinya, Freud sadar bahwa komentar atas kedua matanya mengungkapkan situasi
yang terbalik, sebab ayah wanita tersebut bukan orang yang menolong “untuk mata
anda yang indah” (ungkapan Jerman untuk mengatakan “menolong tanpa pamrih”).
Artinya, Freud merasa dikejar-kejar utang pada ayah wanita tersebut.
Dalam puisi dan retorika ada yang
disebut metonimi, yaitu proses penggantian suatu ujaran dengan penanda lain
dalam satu arti berdampingan. Misalnya, menyebutkan sebagian sebagai ganti
keseluruhan (layar untuk menyebut kapal), atau menyebutkan bahan sebagai ganti
benda (sutera untuk menyebut pakaian wanita).
3. Simbolisasi
Simbolisasi adalah mimpi yang
muncul dalam bentuk simbol tertentu dalam hubungan analogis. Menurut Freud,
setiap objek yang panjang (tongkat, batang pohon, payung, senjata, pisau)
mewakili alat kelamin laki-laki. Sedangkan setiap objek yang berbentuk lubang
dan lebar (kotak, peti, lemari, penggorengan, gua, perahu) mewakili alat
kelamin perempuan.
Simbolisasi dapat disamakan
dengan metafora dalam puisi, yaitu mengganti sebuah ujaran dengan penanda lain
yang memunyai kemiripan analogi. Misalnya menyebut bunga untuk melambangkan
cinta, putih sebagai lambang kesucian, atau penggunaan gaya bahasa lain. Bahasa
puisi itu sendiri adalah bahasa yang penuh dengan metafora.
4. Figurasi
Figurasi adalah transformasi
pikiran ke dalam gambar. Misalnya ketika di waktu sadar kita menginginkan suatu
benda, gambaran benda itu akan muncul dalam mimpi.
Analogi figurasi dalam seni
paling jelas tampak dalam seni lukis atau seni rupa yang lain. Tetapi dalam
sastra pun banyak terkandung unsur figurasi.
d. Proses Kreatif Sastra
Psikoanalisis menyimpulkan proses
kreatif (proses terciptanya) karya sastra ke dalam dua cara.
1. Sublimasi
Konsep sublimasi terkait dengan
konsep ketidaksadaran. Sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam lapisan
taksadar manusia terdapat id yang selalu menginginkan pemuasan dan kesenangan.
Seringkali keinginan id itu bertentangan dengan superego maupun norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat, dan karenanya keinginan itu tidak mungkin direalisasikan,
kecuali orang tersebut mau dianggap tidak sopan, jahat, cabul, dsb.
Tetapi dorongan-dorongan tersebut
tetap harus dipuaskan. Tetapi agar dapat diterima oleh norma masyarakat,
dorongan-dorongan itu lalu dialihkan ke dalam bentuk lain yang berbeda sama
sekali, misalnya dalam bentuk karya seni, ilmu, atau aktivitas olah raga.
Proses pengalihan dorongan id ke dalam bentuk yang dapat diterima masyarakat
itu disebut sublimasi.
Menurut Freud, sublimasi inilah
yang menjadi akar dari kebudayaan manusia. Dalam sublimasi, terkandung
kreativitas atau kemampuan menghasilkan sesuatu yang baru. Puisi, novel,
lukisan, teori keilmuan, aktivitas olah raga, pembuatan peralatan teknik,
bahkan agama, sebenarnya merupakan bentuk lain dari dorongan-dorongan id yang
telah dimodifikasi.
2. Asosiasi
Di samping tafsir mimpi, teknik
terapi yang dikembangkan Freud dalam psikoanalisisnya adalah asosiasi bebas
(free association). Asosiasi bebas adalah pengungkapan atau pelaporan mengenai
hal apapun yang masuk dalam ingatan seseorang yang tengah dianalisis, tanpa
menghiraukan betapa hal tersebut akan menyakitkan hati atau memalukan. Dalam
situasi terapi, biasanya pasien berada dalam posisi berbaring santai di atas
ranjang, dan terapis duduk di sampingnya. Terapis memerintahkan pasien untuk
mengucapkan hal apapun yang terlintas dalam pikirannya. Jika pasien agak sulit
mengatakan sesuatu, terapis bisa membantu merangsang asosiasi pada pikiran
pasien dengan mengucapkan kata-kata tertentu.
Asosiasi bebas, atau “asosiasi”
saja, sebenarnya merupakan suatu teknik yang sudah lama dipraktikkan oleh para
seniman dan pengarang untuk memeroleh ilham. Ketika proses penulisan dimulai,
pengarang yang menggunakan teknik asosiasi akan menuliskan apa saja yang masuk
ke dalam pikirannya. Setelah ilhamnya habis, barulah ia memeriksa tulisannya
dan mengedit, menambah atau mengurangi, dan menentukan sentuhan akhir.
Seringkali dalam melakukan asosiasi ini, pengarang mengingat-ingat segala
kejadian yang pernah dialaminya, khususnya kejadian di masa anak-anak, atau
memunculkan kembali pikiran-pikiran dan imajinasinya yang paling liar. Itulah
dorongan id yang sedang dipanggil kembali.
Pada sebagian pengarang, asosiasi
itu dibantu pemunculannya dengan melakukan “ritual” tertentu, atau memilih
waktu-waktu dan tempat tertentu, yang khas bagi pengarang itu sehingga ide atau
ilhamnya mudah mengalir. Wellek dan Warren memberikan contoh-contoh menarik
dari kebiasaan aneh para pengarang. Schiller suka menaruh apel busuk di atas
meja kerjanya. Balzac menulis sambil memakai baju biarawan. Marcel Proust dan
Mark Twain menulis sambil berbaring di ranjang. Sementara pengarang di negeri
kita, misalnya Emha Ainun Najib suka menulis dengan menggunakan kertas
warna-warni. Sewaktu di Bloomington, Budi Darma senang berjalan-jalan tak tentu
arah dan tujuan, sekadar menikmati pemandangan yang ada di sekelilingnya. Ada
pengarang yang lebih terinspirasi kalau menulis di malam hari, ada juga yang
lebih suka menulis di pagi hari atau senja hari. Ada yang hanya bisa menulis di
tempat sepi, ada juga yang menulis di tempat ramai seperti di kafe. Itu semua
bergantung pada kebiasaan pengarang yang bersangkutan.
Itulah di antaranya konsep-konsep
psikoanalisis yang dapat dihubungkan dengan seni sastra. Berdasarkan teori
Freud, sedikit dapat disimpulkan bahwa sumber ide karya seni adalah id yang
berada dalam ketidaksadaran kita, dan sebagian dari kesadaran. Sedangkan proses
munculnya ide itu dalam pikiran adalah melalui sublimasi dan asosiasi.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Adapun kesimpulan yang dapat kami
ambil berdasarkan pembahasan diatas yaitu :
Menurut Ratna (2004:350),
“Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi
dan peranan studi psikologis”.
Artinya, psikologi turut berperan penting dalam penganalisisan sebuah karya
sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur
pengarang, tokoh, maupun pembacanya.
Penelitian psikologi sastra dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, melalui pemahaman teori-teori
psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua,
dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian,
kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan
analisis.
Psikoanalisis dalam karya sastra
berguna untuk menganalisis tokoh-tokoh dalam drama atau novel secara
psikologis. Tokoh-tokoh tersebut umumnya merupakan imajinasi atau khayalan
pengarang yang berada dalam kondisi jiwa yang sehat maupun terganggu, lalu
dituangkan menjadi sebuah karya yang indah.
Konsep Freud yang paling mendasar
adalah teorinya tentang ketidaksadaran. Pada awalnya, Freud membagi taraf
kesadaran manusia menjadi tiga lapis, yakni lapisan unconscious (taksadar),
lapisan preconscious (prasadar), dan lapisan conscious (sadar). Namun Dalam
buku-bukunya yang lebih mutakhir, Freud meninggalkan pembagian lapisan
kesadaran di atas, dan menggantinya dengan konsep yang lebih teknis. Tetapi
basis konsepnya tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu bahwa tingkah laku manusia
lebih banyak digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar dalam dirinya. Pembagian itu
dikenal dengan sebutan struktur kepribadian manusia, dan tetap terdiri atas
tiga unsur, yaitu id, ego, dan superego.
DAFTAR PUSTAKA
- Psikoanalisis dan Sastra « Sekolah Berpikir dan Menulis.htm
- Id, Ego, dan Superego Oleh Sigmund Freud _ BELAJAR PSIKOLOGI.htm
- Blog Archive » FREUD, Id-Ego-Superego.htm
- Pendekatan-Dalam-Penelitian-Sastra.htm
- penerapan-teori-psikoanalisis-dalam.html
- Hardjana, Andre.1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar.Jakarta : Gramedia
- Endraswara Suwardi.2008.Metode Penelitian Psikologi Sastra.Yogyakarta : Azza grafika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar