Aku melihat bunga kuncup di pinggir trotoar, belum mekar indah. Angin
menghembusi kelopak mataku. Aku jadi tersadar bahwasanya aku berada di
tepi dunia. Dari sini, dari tempatku berdiri hanya bisa kulihat
sepandang mata dari dunia. Entah di seberang sana, entah di balik sungai,
gunung, dan awan. Sekuncup bunga akan mekar. Aku bayangkan bunga yang
sama juga tumbuh di jalanan, di atas batu, di gedung parlemen, di
puncak-pucak gunung. Akankah berwarna dunia ini ?
itu hanya angan
ku. Sedang yang ada, banyak rumput yang siap mekar dicabut paksa dengan
akarnya. Atau di timbun dengan batu-batu cadas. Apakah mereka belum
pernah melihat indah bunga mekar ? apakau hidung mereka tidak lagi mampu
membaui wangi kembang pagi hari.
Senjakala semakin temaram, aku
masih saja di pinggir jalan menunggui bunga ini kapan akan mekar. Apakah
nanti malam ? saat purnama malan dua belas memancar cahya peraknya. Atau esok saat matari lembut menyapa bumi.
bunga akan mekar, entah
malam atau esok pagi. Seberapa banyak ia di cabuti, lebih banyak ia akan
tumbuh lagi. karena bunga bukanlah bikinan masa, ia adalah hakekatnya
dunia. Ia tumbuh dari perutnya bumi, ia anak langit.
By Anton Sugiarto
itu hanya angan ku. Sedang yang ada, banyak rumput yang siap mekar dicabut paksa dengan akarnya. Atau di timbun dengan batu-batu cadas. Apakah mereka belum pernah melihat indah bunga mekar ? apakau hidung mereka tidak lagi mampu membaui wangi kembang pagi hari.
Senjakala semakin temaram, aku masih saja di pinggir jalan menunggui bunga ini kapan akan mekar. Apakah nanti malam ? saat purnama malan dua belas memancar cahya peraknya. Atau esok saat matari lembut menyapa bumi.
bunga akan mekar, entah malam atau esok pagi. Seberapa banyak ia di cabuti, lebih banyak ia akan tumbuh lagi. karena bunga bukanlah bikinan masa, ia adalah hakekatnya dunia. Ia tumbuh dari perutnya bumi, ia anak langit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar