Penguasaan
sebuah bahasa oleh seorang anak dimulai dengan perolehan bahasa pertama yang
sering kali disebut bahasa ibu (B1). Pemerolehan bahasa merupakan sebuah proses
yang sangat panjang sejak anak belum mengenal sebuah bahasa sampai fasih
berbahasa. Setelah bahasa ibu diperoleh maka pada usia tertentu anak lain atau
bahasa kedua (B2) yang ia kenalnya sebagai khazanah pengetahuan yang baru.
Ali
(1995:77) mengatakan bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia
sejak awal hidupnya melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya,
seperti keluarga dan masyarakat lingkungan. Hal ini menunjukkan bahasa pertama
(B1) merupakan suatu proses awal yang diperoleh anak dalam mengenal bunyi dan
lambang yang disebut bahasa.
Apabila
dalam proses awal menunjukkan pemahaman dan penghasilan yang baik dari keluarga
dan lingkungan bahasa yang diperolehnya, proses pemerolehan bahasa selanjutnya
akan mendapatkan kemudahan. Tahapan-tahapan berbahasa ini memberikan pengaruh
yang besar dalam proses pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa adalah
proses pemahaman dan penghasilan (produksi) bahasa pada diri anak melalui
beberapa tahap mulai dari meraban sampai fasih berbicara (Indrawati dan
Oktarina, 2005:21).
Bahasa kedua
akan dikuasai secara fasih apabila bahasa pertama (B1) yang diperoleh sebelumnya
sangat erat hubungannya (khususnya bahasa lisan) dengan bahasa kedua tersebut.
Hal itu memerlukan proses, dan kesempatan yang banyak. Kefasihan seorang anak
untuk menggunakan dua bahasa sangat tergantung adanya kesempatan untuk
menggunakan kedua bahasa itu. Jika kesempatan banyak maka kefasihan
berbahasanya semakin baik (Chaer, 1994:66).
Pemerolehan
bahasa pertama (B1) sudah barang tentu mempunyai dampak terhadapi anak untuk
mendapatkan bahasa kedua (B2) yaitu bahasa Indonesia yang baik dan benar. Apa
saja dampak yang kemungkinan muncul akan penulis paparkan dalam tulisan ini.
Beragam
Bahasa Pertama (B1)
Bangsa
Indonesia memiliki banyak suku, budaya, dan bahasa dengan ragam dialek yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, wajarlah bila di suatu sekolah (kelas rendah)
terdapat berbagai bahasa ibu mengingat siswa berasal dari berbagai latar
belakang dan suku bahkan bahasa daerah yang beragam pula. Bahasa daerah sebagai
bahasa pertama dikenal anak sangat berpengaruh terhadap pemerolehan bahasa
Indonesia yang akan diperoleh anak di sekolahnya.
Adanya
berbagai macam dan ragam bahasa menimbulkan masalah, bagaimana kita menggunakan
bahasa itu di dalam masyarakat (Chaer, 1994:63). Dialek atau pelafalan bahasa
daerah dan ragam bahasa dalam tatanannya sebagai bahasa lisan memiliki dampak
terhadap pelafalan bahasa Indonesia yang baik dan benar meskipun dari segi
makna masih dapat diterima. Pelafalan yang nyata sering terdengar dalam tuturan
resmi berasal dari berbagai dialek bahasa di nusantara yaitu Jawa, Batak, Sunda,
Bali, Minangkabau. Dialek-dialek tersebut akan lebih baik bila sekecil mungkin
dihilangkan apalagi bila dialek itu diselingi dengan bahasa daerah dari bahasa
ibu (B1) petuturnya sehingga tidak menimbulkan permasalahan khususnya salah
penafsiran bahasa karena terdapat bahasa daerah yang mempunyai ucapan atau
pelafalan sama namun memiliki makna yang berbeda.
Contoh:
- suwek dalam bahasa Sekayu (Sumsel) bermakna tidak ada
- suwek dalam bahasa Jawa bermakna sobek
- kenekdalam bahasa Batak bermakna kernet (pembantu sopir)
- kenek dalam bahasa Jawa bermakna kena
- abang dalam bahasa Batak dan Jakarta bermakna kakak
- abang dalam bahasa Jawa bermakna merah
Melalui beberapa contoh itu ternyata penggunaan bahasa daerah memiliki
tafsiran yang berbeda dengan bahasa lain. Jika hal tersebut digunakan dalam
situasi formal seperti seminar, lokakarya, simposium, proses belajar mengajar
yang pesertanya beragam daerahnya akan memiliki tafsiran makna yang beragam.
Arifin dan Hadi (1989:11) menegaskan bahwa pelafalan dan penggunaa bahasa daerah
seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, dan Batak dalam berbahasa Indonesia pada
situasi resmi atau formal sebaiknya dikurangi. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa
daerah yang sering digunakan sebagai bahasa ibu mempunyai dampak dalam
perolehan bahasa siswa secara resmi atau formal berupa bahasa Indonesia yang
baik dan benar.
Dampak Pemerolehan Bahasa Ibu (B1)
Keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan dan pengaruh
terhadap bahasa yang akan diperoleh anak pada tahapan berikutnya. Sebagai
contoh seorang anak yang orang tuanya berasal dari daerah Melayu dengan
lingkungan orang Melayu dan selalu menggunakan bahasa Melayu sebagai alat
komunikasi sehari-hari, maka anak itu akan mudah menerima kehadiran bahasa
Indonesia sebagai bahasa kedua (B2) di sekolahnya. Tuturan bahasa pertama (B1)
yang diperoleh dalam keluarga dan lingkungannya sangat mendukung terhadap
proses pembelajaran bahasa kedua (B2) yaitu bahasa Indonesia. Hal ini sangat
dimungkinkan selain faktor kebiasaan juga bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Melayu. Lain halnya jika kedua orang tuanya berasal dari daerah Jawa dengan
lingkungan orang Jawa tentu dalam komunikasi sehari-hari menggunakan bahasa
Jawa akan mengalami kesulitan untuk menerima bahasa kedua (B2) yaitu bahasa
Indonesia yang dirasakan asing dan jarang didengarnya.
Selain dua situasi di atas juga berbeda dengan pasangan orang tua yang
berasal dari daerah yang berbeda dengan bahasa yang berbeda pula dan lingkungan
yang berbeda dengan kedua bahasa orang tuanya maka anak akan memperolah bahasa
yang beraneka ragam ketika bahasa Indonesia diperolehnya di sekolah akan
menjadi masukan baru yang berbeda pula.
Untuk kasus yang ketiga dapat dicontohkan apabila ibunya berasal dari
daerah Sekayu sedangkan ayahnya berasal dari daerah Pagaralam dan keluarga ini
hidup di lingkungan orang Palembang dalam mengatakan sebuah kata yang berarti
mengapa akan diucapkan ibu ngape (e dipaca kuat (e taling)) dalam bahasa
Sekayu dan bapak dengan ucapan ngape (e lemah (e pepet)) dalam bahasa
Pagaralam dan bahasa di lingkungannya di Palembang ngapo. Ketika anak
memasuki sekolah, ia mendapatkan seorang teman yang berasal dari Jawa
mengucapkan kata ngopo yang berarti mengapa maka bertambah lagi
keanekaragaman bahasa yang diperolehnya. Seorang guru pada jenjang sekolah pada
kelas tinggi ia menjumpai kata mengapa akan merasa kebingungan karena
ada lima bahasa yang ia terima. Bagi anak yang kemampuan kognetifnya baik atau
lebih dari rata-rata ia akan bisa membedakan bahasa Sekayu, Palembang,
Pagaralam, Jawa, dan bahasa Indonesia. Kenyataan inilah yang menjadi dampak
bagi anak ketika pemerolehan bahasa pertama yang didapatkan berpadu dengan
bahasa kedua sebagai bahasa baru untuk digunakan dalam komunikasi di jenjang
lembaga resmi atau formal.
Orang tua dan lingkungan mempunyai andil besar terhadap pemerolehan bahasa
yang akan dipejarinya di lembaga formal. Dijelaskan dalam aliran behavioristik
Tolla dalam Indrawati dan Oktarina (2005:24) bahwa proses penguasaan bahasa
pertama (B1) dikendalikan dari luar, yaitu oleh rangsangan yang disodorkan
melalui lingkungan. Sementara Tarigan dalam Indrawati dan Oktarina (2005:24)
mengemukakan bahwa anak mengemban kata dan konsep serta makhluk social. Tarigam
memadukan bahwa konsep pemerolehan belajar anak berasala dari konsep kognetif
serta perkembangan sosial anak itu sendiri. Adapun perkembangan sosial itu
sendiri idak terlepas dari faktor orang-orang yang kehadirannya ada di
lingkungan diri anak. Orang-orang yang dimaksud adalah teman, saudara dan yang
paling dekat adalah kedua orang tua yaitu ayah serta ibunya. Hal ini
menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan oleh kedua orang tua sebagai orang yang
pertama kali dekat dengan diri anak ketika menerima bahasa pertama sangat
berdampak terhadap anak dalam tahapan pemerolehan bahasa kedua (B2).
Pemerolehan bahasa pertama anak adalah bahasa daerah karena bahasa itulah
yang diperolehnya pertama kali. Perolehan bahasa pertama terjadi apabila
seorang anak yang semula tanpa bahasa kini ia memperoleh bahasa (Tarigan dalam
Safarina dan Indrawati, 2006:157). Bahasa daerah merupakan bahasa pertama yang
dikenal anak sebagai bahasa pengantar dalam keluarga atau sering disebut
sebagai bahasa ibu (B1). Bahasa ibu yang digunakan setiap saat sering kali
terbawa ke situasi formal atau resmi yang seharusnya menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
Bagi anak, orang tua merupakan tokoh identifikasi. Oleh sebab itut, idaklah
mengherankan jika mereka meniru hal-hal yang dilakukan orang tua (Fachrozi dan
Diem, 2005:147). Anak serta merta akan meniru apa pun yang ia tangkap di
keluarga dan lingkungannya sebagai bahan pengetahuannya yang baru terlepas apa
yang didapatkannya itu baik atau tidak baik. Citraan orang tua menjadi dasar
pemahaman baru yang diperolehnya sebagai khazanah pengetahuannya artinya apa
saja yang dilakukan orang tuanya dianggap baik menurutnya. Apapun bahasa yang
diperoleh anak dari orang tua dan lingkungannya tersimpan di benaknya sebagai
konsep perolehan bahasa anak itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan
orang tua dalam berbahasa di dalam keluarga (bahasa ibu) sangat dicermati anak
untuk ditirukan. Anak bersifat meniru dari semua konsep yang ada di
lingkungannya. Brown dalam Indrawati dan Oktarina (2005:24) mengemukakan bahwa
posisi ekstern behavioristik adalah anak lahir ke dunia seperti kertas putih,
bersih. Pernyataan itu memberikanan penjelasan nyata bahwa lingkungan dalam hal
ini keluarga terutama orang tua dalam pemberian bahasa yang kurang baik
khususnya tuturan lisan kepada anak akan menjadi dampak negatif yang
akan disambut oleh anak sebagai pemerolehan bahasa pertama (B1) yang menjadi
modal awal bagi seoarang anak untuk menyongsong kehadiran pemerolehan bahasa
kedua (B2).
Perolehan bahasa kedua (B2 (bahasa Indonesia)) merupakan sebuah kebutuhan
bagi anak ketika sedang mengikuti pendidikan di lembaga formal. Pada lembaga
formal guru mempunyai pengaruh yang sangat siknifikan sebagai pendidik
sekaligus pengajar di sekolah. Guru dengan konsep dapat digugu dan ditiru oleh
anak akan menjadi figure sosok seseorang pengganti orangtua yan, oleh karena
itu sosok seorang guru dalam kehadirannya di sekolah sebagai rumah kedua bagi
anakmempunyai peranan penting dalam memberikan tuturan bahasa sebagai contoh
bahasa kedua (B2). Penyesuaian antara bahasa ibu (B1) dengan bahasa kedua (B2
(bahasa Indonesia) yang dituturkan oleh guru membutuhkan waktu yang cukup lama.
Oleh karena itu, pada kelas rendah (kelas 1—3 SD) masih menggunakan bahasa ibu
sebagai bahasa pengantar pendidikan.
Pada Kelas lanjutan (4—6 SD dan seterusnya) guru akan menggunakan bahasa
Indonesia sebagai penyampai ilmu pengetahuan dan teknologi yang baru oleh anak.
Apabila pada kelas lanjutan guru masih menggunakan bahasa ibu/ bahasa daerah
sebagai bahasa pengantar pendidikan, maka dampak negatif yang akan
diperoleh anak. Sebagai contoh seorang guru matematika mengajarkan hasil
penjumlahan. Guru menanyakan proses penjumlahan dengan menggunakan bahasa
Palembang “Cakmano awak dapet hasil mak ini ni, cobo jelaske!” Bagi anak
yang berasal dari Palembang tidak menjadi masalah dan bisa saja menjelaskannya
(menggunakan bahasa Palembang), tetapi anak yang tidak berasal dari daerah
Palembang yang berada di kelas yang sama akan mengalami kesulitan menerima
bahasa daerah Palembang sebagai bahasa kedua (B2). Sebaliknya jika guru matematika
tersebut menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sudah barang tentu
dapat dipahami oleh warga belajar di kelas yang bersangkutan. Hal yang terakhir
ini akan menjadi sebuah kenyataan yang komunikatif antara petutur dan penutur
apabila warga kelasnya sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia yang baik
dan benar. Sebaliknya, apabila anak sebagai peserta didik tetap terbiasa
mengggunakan bahasa daerah atau bahasa pertama (B1) yang juga sering disebut
sebagai bahasa ibu dalam komunikasi di lingkungan formal maka sangat sulit guru
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam menyampaikan ilmu
pengetahuan dan teknologi di dunia pendidikan. Begitu pula apabila guru dan
anak sebagai peerta didik selalu menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar
pendidikan maka tidak mengherankan bila penguasaan bahasa Indonesia yang baik
saja yang dikuasai anak. Sementara itu, keberadaan bahasa Indonesia yang baik
dan benar yang menjadi tuntutan sebagai komonukasi formal atau resmi akan
dikesampingkan.
Peranan Guru (kelas bawah) dan orang tua dalam berbahasa ditunjang oleh
faktor lingkungan sangat memberikan dampak yang sangat besar dalam proses
pemerolehan bahasa pertama (B1). Pemberian figur berbahasa yang baik oleh orang
tua yang baik diperkuat dengan guru sebagai contoh berbahasa yang baik dan
benar di sekolah, maka anak akan mempunyai bekal dalam mempelajari pemerolehan
bahasa kedua (B2) yaitu bahasa Indonesia yang baik dan benar.
DAFTAR RUJUKAN
·
Arifin, E.
Zaenal dan Farid Hadi. 1991. 1001 Kesalahan Berbahasa. Jakarta:CV
Akademika Pressindo.
·
Badudu, J.S.
1985. Pelik-pelik Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Prima.
·
Chaer, Abdul.
1994. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
·
Effendi,S. 1994.
Panduan Berbahasa Indonesia dengan Baik dan Benar. Jakarta: PT Dunia
Pustaka Jaya
·
Fachrozi, Irwan dan Diem, C.D. 2005. “Hubungan Antara
Peranan Orangtua, Keterlaksanaan Bahan Bacaan di Perpustakaan Sekolah, dan
Minat Baca Siswa SLTP Negeri di Kecamatan Banyuasin III Kabupaten Banyuasin.” Lingua,
6(2): 147.
·
Indrawati, Sri
dan Santi Oktarina. 2005. “Pemerolehan Bahasa Anak TK: Sebuah Kajian
Fungsi Bahasa.” Lingua, 7 (1): 21.
·
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.1995. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
·
Safarina, D. Sopah, dan Indrawati, S. 2006. ”Analisis
Kesalahan Berbahasa Ragam Tulis Siswa Madrasah Ibtidaiyah Negeri I Palembang.” Lingua, 7 (2): 157
terima kasih sangat membantu
BalasHapus